CARA PENGENDALIAN KONFLIK
Pengendalian suatu konflik hanya mungkin dapat
dilakukan apabila berbagai pihak yang berkonflik terorganisir secara jelas.
Menekankan sebuah konflik agar tidak berlanjut menjadi sebuah tindak kekerasan
memerlukan strategi pendekatan yang tepat.
1.
Pengendalian Secara Umum
Secara umum, terdapat beberapa cara dalam upaya
mengendalikan atau meredakan sebuah konflik, yaitu sebagai berikut :
a.
KONSILIASI
Konsiliasi
merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang dilakukan oleh lembaga-lembag
tertentu yang dapat memberikan keputusan dengan adil. Dalam konsiliasi berbagai
kelompok yang berkonflik duduk bersama mendiskusikan hal-hal yang menjadi pokok
permasalahan. Contoh bentuk pengendalian konflik seperti ini adalah melalui
lembaga perwakilan rakyat.
b.
ARBITRASI
Arbitrasi merupakan bantuk pengandalian
konflik sosial melalui pihak ketiga dan kedua belah pihak yang berkonflik
menyetujuinya. Keputusan-keputusan yang diambil pihak ketiga harus dipatuhi
oleh pihak-pihak yang berkonflik.
c.
MEDIASI
Mediasi merupakan bentuk pengendalian
konflik sosial dimana pihak-pihak yang berkonflik sepakat menunjuk pihak ketiga
sebagai mediator. Namun berbeda dengan arbitrasi, keputusan-keputusan pihak
ketiga tidak mengikat manapun.
d.
AJUDICATION
Ajudication merupakan cara penyelesaian
konflik melalui pengadilan yang tetap dan adil.
e.
SEGREGASI
Upaya salign menghindar atau memisahkan
diri untuk mengurangi ketegangan.
f.
STALAMATE
Konflik yang berhenti dengan sendirinya
karena kekuatan yang seimbang.
g.
KOMPROMI
Kedua belah pihak yang bertentangan
berusaha mencari penyelesaian dengan mengurangi tuntutan
h.
COERSION
Penyelesaian konflik dengan paksaan
i.
KONVERSI
Salah satu pihak mengalah dan mau
menerima pendirian piahk lain.
j.
GENJATAN SENJATA
Penghentian konflik untuk sementara
waktu yang biasanya dalam bentuk peperangan untuk menyembuhkan korban.
- Pengendalian Menggunakan Manajemen Konflik
Disamping cara-cara tersebut diatas, gaya pendekatan
seseorang atau kelompok dalam menghadapi situasi konflik dapat dilaksanakan
sehubungan dengan tekanan relatif atas apa yang dinamakan cooperativeness dan
assertiveness. Cooperativiness adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan
minat individu atau kelompoknya lain sedangkan assertivenes merupakan keinginan
untuk memenuhi kebutuhan dan minat individu atau kelompok sendiri. Ada lima
gaya menejemen konflik berkaitan dengan adanya tekanan relatif di antara
keinginan untuk menuju kearah cooperativeness atau assertiveness sesuai dengan
intensitasnya, yaitu sebagai berikut :
a. Tindakan menghindari
Bersikap tidak kooperatif dan tidak assertif,
menarik diri dari situasi yang berkembang dan atau bersikap netral dalam segala
macam cuaca.
b. Kompetisi atau komando otoritatif
Bersikap tidak kooperatif, tetapi asertif, bekerja dengan
cara menentang keinginan pihak lain, berjuang untuk mendominasi dalam situasi
menang atau kalah dan atau memaksakan segala sesuatu agar sesuai dengan
kesimpulan tertentu dengan menggunakan kekuasaan yang ada.
c. Akomodasi atau meratakan
Besikap kooperatif, tetapi tidak asertif, membiarkan
keinginan pihak lain menonjol, meratakan perbedaan-perbedaan guna
mempertahankan harmoni yang diusahakan secara buatan.
d. Kompromis
Bersikap cukup kooperatif dan juga asertif dalam
intensitas yang cukup. Bekerja menuju kearah pemuasan pihak-pihak yang berkepentingan,
mengupayakan tawar-menawar untuk mencapai pemecahan yang dapat diterima kedua
belah pihak meskipun tidak sampai tingkat optimal, tak seorangpun merasa
menang, dan tak seorangpun merasa bahwa yang bersangkutan menang atau kalah
secara mutlak.
e. Kolaborasi (kerjasama)
Bersikap kooperatif maupun asertif, berusaha untuk
mencapai kepuasaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan jalan bekerja
melalui perbedaan-perbedaan yang ada, mencari dan memecahkan masalah hingga
setiap individu atau kelompok mencapai keuntungan masing-masing sesuai dengan
harapannya.
- Hasil Manajemen Konflik
Dari gaya manajemen konflik tersebut kemungkinan
hasil yang didapat adalah sebagai berikut :
a. Konflik kalah-kalah
Konflik kalah-kalah terjadi apabila tak
seorangpun diantara pihak yang terlibat mencapai tujuan yang sebenarnya dan
alasan atau faktor-faktor penyebab konflik tidak mengalami perubahan. Hasil
kalah-kalah biasanya akan terjadi apabila konflik dikelola dengan sikap
menghindari, akomodasi, meratakan dan atau melalui kompromis.
Sikap menghindari merupakan sebuah
bentuk ekstrim tiadanya perhatian. Orang berpura-pura seakan-akan konflik tidak
ada dan mereka hanya berharap bahwa konflik tersebut akan terselesaikan dengan
sendirinya. Akomodasi atau meratakan berusaha menekan perbedaan-perbedaan
antara pihak yang berkonflik dan menekankan pada persamaan-persamaan pada
bidang-bidang kesepekatan.
Kompromis akan terjadi apabila dibuat
akomodasi sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak yang berkonflik
mengorbankan hal tertentu yang dianggap mereka sebagai hal yang bernilai.
Akibatnya adalah bahwa tidak ada satu pihakpun yang mencapai keinginan mereka
dengan sepenuhnya dan menciptakan kondisi-kondisi anteseden untuk
konflik-konflik yang mungkin akan muncul pada masa yang akan datang.
b. Konflik Menang-Kalah
Pada konflik menang-kalah, salah satu
pihak mencapai apa yang diinginkannya dengan mengorbankan keinginan pihak lain.
Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya persaingan, dimana orang mencapai
kemenangan melalui kekuatan, ketrampilan yang superior, atau karena unsur
dominasi. Ia juga dapat merupakan hasil dari komando otoratif, ketika seorang
otoriter mendikte sebuah pemecahan dan kemudian dispesifikasikan apa yang akan
dicapai dan apa yang akan dikorbankan dan oleh siapa. Andaikata figur otoritas
tersebut merupakan pihak aktif di dalam konflik yang berlangsung, maka kiranya
mudah untuk meramalkan siapa yang akan menjadi pemenang dan siapa yang akan
kalah. Mengingat bahwa strategi-strategi menang-kalah juga tidak memecahkan kausa
pokok terjadi konflik, maka kiranya pada masa mendatang konflik-konflik akan
muncul lagi.
c. Konflik Menang-Menang
Konflik menang-menang dilaksanakan
dengan jalan menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam konflik yang
terjadi. Hal tersebut secara tipikal dicapai melalui apabila dilakukan
konfrontasi persoalan-persoalan yang ada dan digunakannnya cara pemecahan
masalah untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan pandangan.
Kondisi menang-menang meniadakan
alasan-alasan untuk melanjutkan atau menimbulkan kembali konflik yang ada
karena tiada hal yang dihindari ataupun ditekankan. Semua persoalan-persoalan
yang relevan diperbincangkan dan dibahas secara terbuka.
Pemecahan masalah dan kerjasama dapat
dikatakan sebagai pendekatan yang peling berhasil dan paling baik dalam usaha
menejemen konflik. Akan tetapi, bukan berarti pemecahan yang lain tidak
memiliki nilai yang potensial dalam pengelolaan suatu konflik. Akan selalu ada
konflik yang tidak dapat dikelola dengan kolaborasi. Untuk hal-hal demikian kita
pakai saja prinsip “minus mallun” (terbaik diantara yang kurang baik). Dalam
menangani konflik, terutama yang sifatnya destruktif, kita hrus menjunjung
tinggi demikrasi, transparansi dan toleransi dalam segala aspek kehidupan.
Selain beberapa gaya menejemen konflik seperti
disebutkan diatas, masih ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menghentikan kekerasan, diantaranya adalah perdaiman melalui kekuatan,
pendekatan pola kontrol hukum, serta keamanan bersama dan konflik tanpa
konflik.
a. Perdamaian Melalui Kekuatan
Konsep perdamaian melalui kekuatan mendukung
penggunaan cara apapun yang diperlukan. Pendekatan ini melahirkan model
kekerasan kriminal dan mengandalkan pencegahan melalui intimidasi untuk
mengurangi perilaku kekerasan dan mendukung pengembangan teknologi. Tindakan
tersebut dijalankan oleh negara, polisi atau militer, dan sistem pengadilan
kriminal, tetapi pada tingkat yang ekstrim, jika negara dirasa tidak efektif,
maka kelompok-kelompok yang peduli akan turut campur tangan.
b. Pola Kontrol Hukum
Pendekatan ini menekankan pada negosiasi dan
perjanjian pengendalian senjata di lingkungan internasional, penegakan hukum
secara efektif yang digabungkan dengan program sosial untuk menghadapi para
pelanggar hukum di tingkat lokal, serta kerangka hukum untuk melindungi hak
asasi manusia. Inti pendekatan iani adalah satu-satunya jalan untuk
menghentikan kekerasan adalah dengan mempertahankan aturan hukum. Pertikaian
antarkelompok harus diselesaikan di ruang pengadilan, bukan di medan perang
karena manusia pada dasarnya bersifat rasional sehingga dapat diajarkan untuk
melakukan cara yang rasional.
c. Kemanan Bersama dan Konflik Tanpa Kekerasan
Pendekatan ini menuntut adanya konstruksi institusi
yang bisa mnghambat munculnya sebab-sebab kekerasan, dan tidak menekankan pada
organisasi agen kontrol sosial seperti militer dan kepolisisan. Pendekatan ini
menekankan pada kerjasama dan konflik tanpa kekerasan.
Adapun asumsi mendasar pendekatan ini adalah sebagai
berikut :
1) Tidak ada manusia yang akan aman sampai setiap orang
merasa aman.
2) Kekuatan diperlukan untuk mempertahankan perdamaian.
3) Penyelesaian masalah dengan cara kekerasan hanya
akan menghasilkan kepuasan sementara.
4) Kekerasan struktur bisa menjadi destruktif seperti
bentuk kekerasan lain.
5) Konflik tidak harus menjadi suatu kemenangan bagi
salah satu pihak dan kekalahan pada pihak lain.
6) Perjuangan tanpa kekerasan secara moral dan strategi
lebih bernilai dari perjuangan dengan kekerasan.
Secara singkat pendekatan keamanan bersama
menghendaki adanya pemolaan kembali semua pendekatan mendasar terhadap hubungan
manusia dari tingkat keluarga sampai pada sistem dunia.
Referensi
:
Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
9 November 2016 pukul 17.32
sangat membantu :D
22 Desember 2016 pukul 00.31
Mau bertanya untuk meneken konflik sumbernya kayane bukan Soerjono Soekanto ya?? Saya buka Ndak ada. Kalo boleh tahu dari buku apa sumbernya??
29 Desember 2016 pukul 00.27
trimakasih kak ^_^
My Blog
8 November 2018 pukul 03.47
Saya juga tidak tau