KONFLIK DALAM PILKADA
- Konflik dalam Pilkada ( Pemilihan Kepala Daerah )
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configure yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Dalam proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan sebuah keniscayaan karena
setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai
yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis sosial yang lebih
kompleks, dibanding hanya sekedar suatu kompetisi dalam proses demokrasi. Pada
sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian orang sebagai sarana untuk
mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling membunuh untuk menjadi raja,
kini mereka bertarung melalui bilik suara. Jika dulu orang merangkul senjata
untuk membuat orang lain tunduk, sekarang mereka
harus berkampanye dengan
memasang spanduk atau leafleat di mana-mana agar memperoleh dukungan suara
menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya mentransformasikan konflik yang
berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive) ke persuasif.
Meski demikian,
demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah
dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah membuktikan
bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa
eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses
demokrasi. Jadi eksistensi konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu
proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan
berwujud kekerasan (violence). Dalam
wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan
sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan
di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Pilkada, sebagai sebuah
mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik
yang terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya mengarahkan agar konflik tidak
meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah
proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada
yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya
konflik kekerasan dan benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala
daerah menjadi pemandangan jamak yang ditemui. Singkatnya, mekanisme demokrasi
yang ada seolah justru melegitimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang
sulit ditolerir antara pihak-pihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan
kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pilkada
telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik. Kegagalan tersebut
disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pemilu
yang diperkenalkan di Indonesia selama ini dibangun atas basis pondasi
preferensi individu. Diumpamakan bahwa mereka yang berinteraksi adalah
individu-individu otonom yang masing-masing memiliki preferensi tersendiri, one man, one vote, one voice. Asumsi ini
sangat problematik jika dihadapkan pada masyarakat Indonesia, yang sebagai
individu tidak pernah lepas dari kategorisasi-kategorisasi sosial yang
membentuknya. Sebagaimana di Papua, satu suara lahir dari suatu honai
(keluarga/rumah tangga), bukan dari satu individu. Jadi suatu "jamaah/umat"
akan menentukan preferensi individu-individu yang ada di dalamnya. Preferensi
individu sebagian besar didasarkan atas basis sosial (socially bounded Individu). Dari pilihan basis sosialnya, individu
baru kemudian akan mempertimbangkan pilihan-pilihannya terhadap kandidat yang
tampil dalam pemilu. Kandidat dalam hal ini juga tidak sekedar sebagai kandidat
pilkada tetapi juga tokoh yang dianggap mewakili basis sosial tertentu. Tidak
mengherankan jika kemudian tokoh masyarakat seperti Kyai, kepala suku atau
tokoh panutan lain, akan lebih menentukan preferensi-prefensi atau pilihan
individu untuk bertindak secara politik.
Kedua,
jika melihat logika cara mengelola elektoralisme di Indonesia, maka yang
berlaku adalah logika "winner take
all", "kalau saya dapat, yang lain tidak akan dapat". Dengan
kata lain, logika yang terbentuk adalah demokrasi dengan desain mediteranisme
yang pada prinsipnya "siapa yang menang, maka dia yang akan mendapatkan
segalanya", sementara bagi yang kalah harus menunggu lima tahun lagi.
Logika winner take all menciptakan
dominasi kekuasaan, sebab konsekuensi dari kemenangan kepala daerah dari
komunitas tertentu akan menciptakan "gerbong" birokrasi atas dasar
basis sosial di lingkup pemerintahan daerah. Posisi-posisi birokrasi strategis
akan dipegang oleh orang-orang yang berasal dari basis sosial yang sama.
Sebaliknya, orang-orang (pejabat) yang berasal dari basis sosial berbeda akan
tersingkir pada posisi pinggiran, yang bahkan sama sekali tidak diperhitungkan.
Posisi yang dulunya merupakan posisi "mata air" berubah pada posisi
"air mata" disebabkan perbedaan etnis atau basis sosial lainnya.
Logika winner take all, tidak
hanya menjelaskan tentang adanya dominasi elit. Lebih jauh dari itu, kemenangan
kandidat dalam Pilkada akan menentukan nasib satu kampung, etnis atau komunitas
tertentu. Komunitas yang terwakili akan mampu bertahan karena adanya jaminan
sumberdaya publik yang mereka dapatkan. Sementara bagi komunitas yang lain,
nasibnya sangat besar kemungkinan akan terabaikan. Kepala daerah terpilih akan
memprioritaskan penyaluran bantuan sosial atau alokasi dana sosial ke komunitas
tertentu yang merepresentasikannya. Akibatnya, kesejahteraan suatu entitas atau
komunitas pendukung Kepala daerah terpilih akan terjamin dibanding komunitas lainnya.
Begitu juga jajaran birokrasi yang telah didominasi oleh komunitas pendukung
kepala daerah, akan melicinkan jalan memperoleh kesejahteraan bagi
komunitasnya. Kesadaran semacam inilah yang nampaknya menjadi landasan
masyarakat dalam melihat Pilkada, yang kemudian mendorong mereka berani
mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan eksistensi entitasnya, demi
eksistensi dirinya sendiri.
Pilkada yang bekerja dengan logika socially bounded individu dan winner
take all memunculkan persoalan konflik yang cukup rumit. Kompleksitas salah
satunya berakar pada karakter masyarakat Indonesia sendiri. Struktur sosial
yang terfragmentasi dimana masing-masing kelompok memiliki basis kuat, nampak
tidak kompatibel dengan logika Pilkada yang dibangun pemerintah. Dilihat dari
struktur masyarakat plural seperti itu, Pilkada tidak bisa lagi dilihat hanya
sekedar persoalan rekruitmen kepala daerah, tetapi lebih kompleks dari itu, Pilkada
menyangkut persoalan "hidup mati" sebuah komunitas. Dominannya jalur
aspirasi melalui basis sosial memang tidak dapat dilepaskan dari kurangnya
mekanisme pelibatan publik luas dalam pengambilkan keputusan. Hampir bisa
dikatakan bahwa iklim demokrasi di Indonesia pasca otonomi tidak mengalami
perubahan yang berarti bagi hadirnya ruang publik. Tidak ada mekanisme efektif
apapun yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan.
Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang notabene sebagai ajang
partisipasi masyarakat pun hanya menjadi suatu proses ritual demokrasi belaka.
Birokrasi seolah menganggap masyarakat tidak mampu membedakan antara kebutuhan
dan keinginan. Dalih ini memberi otoritas bagi birokrasi sebagai pihak yang
dianggap paling tahu dalam menentukan alokasi sumberdaya.
Pada sisi yang lain, mekanisme demokrasi sebagaimana
sebelumnya dipaparkan cenderung menjadikan masyarakat bersikap "pra
bayar". Masyarakat bukannya lebih memilih menggunakan momentum pilkada
untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya secara ideologis, mereka justru
menjadikan pilkada sebagai bagian dari sumber pendapatan uang tunai. Daripada
mengaharap janji-janji Pemilu yang sudah sering tidak ditepati, masyarakat
lebih memilih memperoleh uang tunai di awal sebelum menentukan pilihan. Mereka
nampak telah skeptis dan berpikir bahwa akan lebih sulit mendapatkan kompensasi
apapun dari pemenang pilkada setelah hingar bingar berlalu. Masyarakat seakan
tahu: lebih baik memilih mengambil keuntungan di awal karena mereka tahu
setelah pilkada, mereka akan ditinggalkan. Jika demikian, maka persoalan konflik
pilkada bukan semata-mata karena adanya provokator atau adanya mekanisme dan
regulasi yang tidak tepat. Tetapi konflik lahir sebagai dampak logika pilkada
yang bersandar pada basis sosial amat kuat.
Selain yang dijelaskan diatas, rawannya konflik dan
kekerasan di alam demokrasi Indonesia disebabkan adanya sistem multipartai yang
sesungguhnya telah menggambarkan perbedaan kepentingan itu sendiri. Secara
sederhana, perbedaan kepentingan memberi kontribusi terhadap merapuhnya
perdamaian sosial. Hal ini menjadi kenyataan pada saat kelompok-kelompok yang
terlibat dalam konflik kepentingan menggunakan strategi contentious dalam prosesnya. Strategi contentious ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang agresif,
serta tidak memedulikan kelompok lain. Pada konflik yang diciptakan oleh
karakter contentious adalah zero-sum
game, menang untuk kelompok sendiri dan ati untuk lawan. Kekerasan yang
dilahirkan dari pola konflik inipun, dalam istilah Galtung (1997) menyebababkan
absennya perdamaian negatif dan positif sekaligus, artinya ancaman kekerasan
dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial adalah ancaman
nyata. Seandainya 34 parpol memiliki karakter kontentous, ancaman lahirnya
kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial bukanlah hal yang absurd dalam negara
demokrasi Indonesia. Sejarah pemilu di Indonesia sendiri selalu tidak lepas
dari pertunjukan hard power, dan akibatnya aksi kekerasan antar pendukung
partai politik tak terhindar. Pemilu daerah yang telah terlaksana di berbagai
daerahpun tidak lepas dari fenomena kekerasan antar massa parpol akibat
pertunjukan hard power ini.
Namun pernyataan diatas sepertinya tidak berlaku dan kurang
tepat untuk menggambarkan pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012 ini dimana
masyarakat semakin cerdas dan tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang
dihembuskan seperti isu SARA dan politik uang. Masyarakat tetap tenang dalam
menanggapi isu-isu tersebut, dimana tak ada konflik yang meletus. Terlepas dari
permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap), pilkada di Jakarta terbilang sukses.
Kesusksesan pilkada di Jakarta dapat pula dilihat dari partisipasi masyarakat yang
semakin meningkat pada putaran kedua. Selain itu, warga Jakarta tidak lagi
terpaku pada calon yang berasal dari komunitas yang sama tetapi lebih memilih pemimpin
yang memiliki visi misi yang dirasa mewakili warga Jakarta dan tidak peduli
lagi dengan perbedaan atribut yang disandang oleh calon Gubernur seperti ras,
suku, agama, dan lain sebagainya. Suksesnya pilkada di Jakarta semoga diikuti
oleh daerah-daerah lain yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi dan konflik
yang sering terjadi saat maupun pasca pilkada seperti tahun-tahun sebelumnya
tidak pernah terulang kembali. Kesuksesan pilkada di Jakarta dapat dijadikan
tolak ukur keberhasilan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 nanti.
- Contoh Konflik Pilkada dan Penyebabnya
Terlepas dari suksesnya pilkada di Jakarta, banyak konflik
yang pernah terjadi saat maupun pasca pilkada khususnya konflik horizontal antar
masyarakat pendukung pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat
sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan. Seperti di
Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di
Sulawesi Tengah. ICG menyebutkan bahwa kekerasan dalam Pilkada antara lain
dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum
kabupaten/kota dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
Jika dianatomi, beberapa sumber konflik horizontal yang berujung pada
tindak kekerasan dalam Pilkada disebabkan beberapa hal diantaranya :
1. Adanya rasa
ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur
dalam tahap pencalonan.
Kejadian ini terjadi pada Pilkada Kabupaten Mojokerto Tahun 2010. Selain
Mojokerto, kekerasan yang dilakukan pendukung pasangan calon akibat gugur dalam
tahap pencalonan
juga terjadi dalam pilkada di
Kabupaten Puncak Provinsi Papua yang menewaskan sekitar 19 orang. Konflik
terjadi akibat KPU setempat menolak salah satu pasangan calon yang diajukan
oleh Partai Gerindra karena partai tersebut sebelumnya sudah mendaftarkan
pasangan calon yang lain. Akibatnya terjadi dualisme dukungan yang diberikan
oleh Partai Gerindra kepada dua pasangan calon yang berbeda.
2. Adanya rasa tidak puas
pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pilkada.
Tahapan
pendaftaran pemilih yang amburadul inilah yang mengakibatkan konflik pada pemungutan
dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa Pilkada memang banyak diawali oleh
tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman Pilkada selama ini
menunjukan bahwa ketika pemutahiran data pemilih tidak maksimal dan
mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka
kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari H. Karena pendataan
pemilih yang kurang valid, pada saat penetapan pemenang biasanya akan terjadi
kekisruhan. Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang
kalah apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis selalu mengangkat isu
penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan
pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa
tidak mendapatkan hak pilihnya biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh
pasangan yang kalah.
Kejadian ini pernah terjadi dalam Pilkada di Sumatra Selatan, dimana pendukung
Syahrial Oesman menuding adanya penggelembungan suara di Kabupaten Musi
Banyuasin yang mengakibatkan kemenangan tipis Alex Noerdin. Selain itu kisruh
pilkada juga terjadi di Tana Toraja Sulawesi Selatan Tahun 2010. Kerusuhan
dipicu ketidakpuasan ratusan pendukung dua pasangan calon bupati dan Wakil
bupati, yakni Nikodemus Biringkanae-Kendek Rante dan pasangan Victor Datuan
Bata-Rosina Palloan, atas hasil penghitungan sementara pemilihan umum kepala
daerah yang dilakukan beberapa lembaga survei. Kerusuhan itu
menyebabkan 1 orang tewas dan 10 orang luka berat dan ringan. Kerusuhan
juga mengakibatkan sejumlah bangunan kantor pemerintahan rusak, seperti Kantor
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tana Toraja, Kantor Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(Panwaslu), Gedung DPRD, Kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya,
dan rumah dinas Bupati Tana Toraja Johannes Amping Situru. Ketidakpuasan
warga terhadap hasil Pilkada juga terjadi di Kabupaten Soppeng dan Kabupaten
Maros, Sulawesi Selatan. Di Soppeng, massa merusak Kantor KPU Soppeng dan dua
kantor kecamatan, yakni Takkalala dan Lalabata. Sementara di Maros, massa
melempari Kantor Kecamatan Tabralili dengan bom Molotov. Kerusuhan akibat rasa
tidak puas terhadap hasil Pilkada juga pernah terjadi pada tahun 2006 di
Kabupaten Tuban Jawa Timur. Kerusuhan itu mengakibatkan beberapa bangunan umum
seperti Pendopo Kabupaten Tuban hangus dibakar massa.
Selain itu, Pemicu lain yang biasanya memunculkan konflik dalam
Pilkada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pilkada. Meskipun tidak
memiliki dampak yuridis terhadap hasil Pilkada, namun penolakan DPRD tersebut
memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca Pilkada. Seperti misalnya
yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005 di mana pihak DPRD bersikukuh menolak
penetapan Bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD
biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukung oleh banyak partai
yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan
tersebut berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan
legislatif pasca Pilkada.
Proses
Konflik Pilkada di Mojokerto
Konflik Insiden anarkis di halaman
Gedung DPRD Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur Jumat (21/5/2010) sedikitnya
mengakibatkan 22 mobil hancur dan 10 di antaranya dibakar massa dengan bom
molotov saat penyampaian visi dan misi calon bupati dan calon wakil bupati
setempat. Aksi rusuh ini merupakan
rentetan demo yang terjadi sejak KPU Mojokerto mencoret pasangan KH Dimyati
Rosyid-M. Karel dari kancah pertarungan. Aksi anarkis itu terjadi bersamaan
penyampaian visi, misi dan program pasangan cabup-cawabup. Selain melempari bom
molotov, massa juga membakar dan merusak puluhan mobil, salah satunya mobil dinas Wakil Walikota Mojokerto, H
Masud Yunus, yang diundang menghadiri acara itu juga ludes dilalap api. Sumber
konflik berasal dari kekesalan pendukung salah satu bakal calon bupati
Mojokerto, yaitu pasangan Dimyati Rosyid-M Karel yang tidak lolos proses
verifikasi oleh komisi pemilihan umum. Keputusan ini ditetapkan setelah Rumah
Sakit dr Soetomo, Surabaya menegaskan surat rekomendasi hasil tes lanjutan ke
dua bersifat menguatkan hasil tes kesehatan pertama. Dimana pasangan
ini dianggap menderita gangguan multiorgan. Mereka
mempertanyakan keabsahan pelaksanaan tahapan yang dilaksanakan KPU ( http://pilkadaponorogo.com/dimyati-rosyid-m-karel-tak-lolos-tes-kesehatan/
).
Salah
satu tujuan utama demokrasi untuk menekan habis kekerasan ternyata masih belum
tercapai, terbukti dari banyaknya kasus kisruh pilkada seperti yang sudah
dipaparkan diatas. Hal tersebut bukanlah perkara usia demokrasi semata. Namun
imbas dari belum berhasilnya transformasi demokrasi ditingkat kelembagaan.
Kegagalan transformasi demokrasi tersebut berakar oleh dua kutub dekonstruktif
yaitu kutub bad governance
lembaga-lembaga demokrasi dan pelembagaan anarkhisme politik warga. Hal ini
berkaitan dengan fakta yang menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi di
Indonesia seperti KPU, masih berjalan pada dimensi formalitas. Penuh dengan
seabrek prosedur dan laporan kerja. Namun miskin tata kelola demokratis,
sehingga tidak terbentuk kualitas proses pelaksanaan misi lembaga. KPU tidak
hanya menjalankan fungsi mengatur, tetapi juga harus menjalankan fungsi
akomodasi dalam mengelola konflik yang membantu penemuan pemecahan masalah.
Masalahnya fungsi akomodasi selama ini tidak dijalankan dengan baik sehingga
banyak aksi kekerasan dalam pilkada
Sedangkan
kutub anarkhisme politik adalah pelembagaan nir-toleransi, anti-prosedur legal
dan kekerasan oleh warga. Idealnya istilah warga negara merujuk pada kesediaan
warga emngikuti dan memanfaatkan lembaga demokrasi. Bersedia mengikuti aturan
main tanpa aksi kekerasan. Suatu ideal dari democratic citizenship. Faktanya
democratic citizenship masih belum terbentuk baik di Indonesia dan malah
melembagakan anakhisme politik. Sehingga ketidakpuasan dan proses terhadap pelaksanaan
pilkada di daerah-daerah hampir selalu diwarnai dengan aksi kekerasan dan
pengrusakan gedung.
- Cara Meminimalisasi dan Mengatasi Konflik Pilkada
Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan
terbesar dalam reformasi politik di Indonesia. Pilkada merupakan ikhtiar rakyat
Indonesia terhadap demokrasi langsung. Namun di balik eforia pilkada langsung
dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini
paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Hal ini telah diingatkan banyak
kalangan sejak awal. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah
seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi
baik sejak dini, pilkada-pilkada selanjutnya bakal menimbulkan konflik politik
yang lebih besar lagi dibanding contoh konflik diatas yang tidak hanya
merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi serta
mengganggu proses penguatan demokrasi di tingkat lokal maupun nasional.
Dalam pemecahan perkara
konflik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Mojokerto diserahkan sepenuhnya
kepada aparat kepolisian setempat, yakni Kepolisian Daerah (POLDA) Jawa Timur.
Pemilihan pemecahan konflik melalui jalur hukum lebih didasarkan pada kenyataan
bahwa kerusuhan tersebut bukanlah merupakan kerusuhan yang dikarenakan
perbedaan pendapat dalam proses demokrasi. Langkah ini juga dimaksudkan untuk
mendapatkan kepastian hukum sehingga tidak mengganggu jalannya pelaksanaan
demokrasi di Mojokerto dan mencegah masalah ini merembet ke wilayah lain.
Dengan begitu, pilkada tetap dapat berlangsung, dan hukum tetap dapat
ditegakkan. (http://bataviase.co.id, “BUNTUT KERUSUHAN MOJOKERTO”).
Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan
mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara
lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan
preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan,
informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui
cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan
politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat
penting bagi demokrasi.
Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam
konteks Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik
tersebut, antara lain dengan :
1.
Conflict Governance
Conflict governance idealnya adalah
mekanisme politik yang mentransformasikan konflik yang tidak produktif atau
konflik kekerasan menjadi konflik yang produktif, konflik produktif mengartikan
dirinya sebagai praktik negosiasi terus menerus dalam ruang politik yang
mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi deliberatif dalam hal ini
adalah fondasi yang paling tepat bagi conflict gevernance. Nogosiasi yang
berdiri di atas akal sehat, imparsialisme, mendengarkan, kesetaraan,
nir-kekerasan, dan aturan main legal.
Contoh sengketa pilkada yang dapat
diselesaikan dengan conflict governance ialah kisruh pilkada di Jawa Timur
dimana MK atau Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga demokrasi bisa menjalankan
fungsinya sebagai containment of violence.
Mahkamah Konstitusi pada saat itu memerintahkan pencoblosan ulang di kabupaten Bangkalan dan Sampang,
serta penghitungan suara di Pamekasan. Selain itu MK juga memerintahkan KPU dan Bawaslu
untuk benar-benar mengawasi pemilihan ulang dan penghitungan suara ulang di
tiga kabupaten terebut agar tercipta pemilu yang jujur dan adil. MK menilai,
secara materil telah terjadi pelanggaran ketentuan pilkada yang berpengaruh
terhadap perolehan suara. Kubu Karsa dan Kaji menerima keputusan tersebut
secara terbuka dan optimis. Dari hasil coblosan dan penghitungan ulang,
serta ditambahkan dengan suara di 36 kabupaten lainnya, Karsa tetap memenangi
pilgub Jatim. Dengan hasil ini kubu Khofifah tetap tidak puas dan mengajukan
gugatan kembali ke Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi menolak
gugatan dari Kubu Kaji karena menggangap kesalahan bukan berasal dari kubu
lawan melainkan dari pihak penyelenggara.
Pelembagaan democratic conflict governance menyediakan tiga mekanime. Yaitu
mekanisme pengamanan, resolusi konflik, dan rekonsiliasi di setiap tingkat
kepemimpinan grass root. Setiap
mekanisme dilaksanakan oleh lembaga-lembaga kompeten yang telah ada dalam
struktur pemerintahan dan lembaga yang dibentuk secara ad hoc oleh berbagai kelompok kepentingan terlibat. Seperti pada
mekanisme pengamanan, aparat keamanan dalam hal ini lembaga kepolisian menjadi
penanggung jawab utama. Untuk menjalanka mekanisme conflict governance, lembaga kepolisian perlu memiliki kualitas
dalam mobilitas aparat keamanan ke pusat-pusat dinamika konflik massa.
Kepolisian harus juga memiliki kemampuan menilai dinamika konflik dalam
masyarakat. Sehingga, penanganan dini bisa segera diciptakan untuk mencegah
terjadinya eskalasi kekerasan. Hal yang tidak kalah penting adalah kapasitas
persuasi terhadap massa yang telah membakar emosi dan siap menciptakan
kekerasan. Pada kasus sengketa Pilkada Jatim 2008, kita bisa memberi acungan
jempol pada aparat kepolisian yang telah melaksanakan mekanisme keamanan dengan
cukup baik.
Mekanisme resolusi konflik memiliki
dua dimensi. Yaitu dimensi judicial
settlement dan negosiasi untuk win-win
solution. Mekanisme ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga demokrasi formal
seperti KPU dan Lembaga Peradilan. Walupun demikian mekanisme ini hanya bisa
berjalan tatkala elit politik memiliki komitmen terhadap demokrasi. Hal menarik
terhadap kasus sengketa pilkada Jatim, para cagub dan cawagub merupakan
figur-figur yang selama ini berperan dalam demokratisasi di Indonesia. Terutama
sekali Khofifah Indar Parawansa dari Kaji dan Syaifullah Yusuf dari Karsa.
Sehingga mekanisme resolusi konflik ini bisa bekerja karena ada kepemimpinan
demokratis yang menyadari pentingnya memanfaatkan mesin demokrasi.
Mekanisme rekonsiliasi di setiap
level kepemimpinan grass root
merupakan proses sosial yang mendorong kerukunan lintas kelompok identitas
massa pendukung. Idealnya mekanisme ini dijalankan oleh lembaga lintas
kelompok, partai politik dan lembaga formal pemerintah seperti kepolisian dan
KPU. Sayangnya mekanisme ketiga dari democratic
conflict governance belum diadopsi dalam sengketa pilkada Jatim. Padahal
aksi kekerasan massa grass root
seringkali terlepas dari kemampuan kontrol para elite politiknya. Kesadaran
massa akar bawah lebih banyak dipengaruhi oleh fanatisme kelompok daripada
seruan politik. Sehingga politik dengan kesadaran demokrasi belum tentu
menjamin bahwa kekerasan massa akar ruput bisa dicegah.
Harapan
kemenangan di tingkat massa grass root
terhadap para figur elite politik seringkali merupakan refleksi kepentingan
identitas kelompok. Kemenangan figur tertentu dianggap kemenangan kelompok
identitas tertentu. Sehingga pada dasarnya massa grass root memiliki suatu proses tersendiri dalam memaknai sengketa
pilkada yang tidak selalu bisa dikontrol oleh elite politiknya. Sehingga fakta
sosiologis ini sangat sulit hanya ditangani oleh meknisme pengamanan dan
resolusi konflik. Sebenarnya mekanisme rekonsiliasi di setiap tingkat
kepemimpinan grass root. Sehingga kemungkinan
kekerasan tetap menjadi tantangan bagi demokrasi lokal di Jatim khususnya dan
bagi demokrasi Indonesia umumnya. Sengketa pilkada Jatim sebenarnya bia
dijadikan sebagai peletakan batu pertama model conflict governance dalam pilkada di Indonesia. Sehingga reiko
demokrasi dalam bentuk pembiayaan tinggi tidak semakin diperparah oleh hadirnya
kekerasan politik.
2.
Kesadaran Demokrasi
Fondasi dari conflict governance dalam konteks pilkada damai adalah kesadaran
demokrasi. Artinya mekanisme-mekanisme dalam democratic conflict governance hanya akan berjalan efektif dan
menjadi mesin perdamaian tatkala seluruh masyarakat memiliki kesadaran
demokratis. Yaitu suatu kesadaran yang dibentuk oleh nilai-nilai kemanusiaan
dan kepercayaan hukum.
Baik
di tingkat politik dan massa grass root kesadaran
nondemokratis masih mewarnai di setiap dimensi tindkan politik. Termasuk
tindakan politik dalam pilkada. Salah satu kasus menonjol di tahun ini dari
kesadaran nondemokratis muncul dalam sengketa pilkda di Maluku Utara. Sehingga
kekerasan politik pun tidak bisa dihindarkan. Sengketa pilkada di Sumatera
Selatan juga masih melahirkan tindakan kekerasan politik di tingkat massa grass root . Menjadikan democratic conflict governance sengketa pilkada Jatim sebagai model kelola konflik
damai harus dimulai terlebih dahulu dari kesadaran demokrasi. Tanpa kesadaran
demokrasi, mekanisme conflict governance
hanya akan muncul secara prosedural. Kekerasanpun bisa saja tetap pecah
kepermukaan.
3.
Undang-Undang
Untuk mengatasi dan
meminimalisasi konflik pilkada diperlukan suatu Undang-Undang tersendiri
tentang tata kelola konflik publik termasuk konflik pemilu. Negara melalui
organisasi-organisasinya harus mampu mereduksi kekerasan partai politik dan
menciptakan konflik kepentingan yang konstruktif untuk pembangunan perdamaian.
4.
Melaksanakan
Good Government
Dengan adanya Good
Government, secara perlahan ajang pilkada tidak akan diperebutkan sebagai
serana mendapatkan keuntungan materi dan politik semata, namun sebagai sarana
melayani publik serta mensejahterkan rakyat sehingga potensi konflik pemilu
yang terjadi baik itu karena kekalahan dalam hasil pemungutan suara dan lain
sebagainya dapat diminalisir.
5.
Mempertimbangkan
faktor penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa kepercayaan antara warga
dan elemen-elemen masyarakat.
Pada
konteks ini, tersedianya modal sosial kultural berupa kepercayaan dari setiap
warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna untuk mentransformasikan konflik
politik. Ketika persoalan muncul, peritmbangan rasional dan jernih berbasis
social trust akan mereduksi cara-cara kekerasan. Social trust antara warga dan
keterbukaan ruang publik akan membuat warga semakin peka terhadap lingkungan
sosial maupun provokasi dari luar atau elite yang mengguncang stabilitas di
wilayah tersebut (http://www.scribd.com/doc/9770134/Konflik-Pilkada)
Konflik memang tidak bisa dihindari di wilayah demokrasi yang
masyarakatnya multikultural, terlebih kalau elite politiknya tidak memiliki
kedewasaan dalam berdemokrasi. Tetapi paling tidak menurut Cohen dalam
manajemen konflik, bagaimana kita bisa secara cerdas meminimalisir konflik itu
sendiri. Dalam konteks pilkada, setiap kandidat harus memiliki modal dasar
demokrasi yaitu “Sportifitas” mengakui keunggulan orang lain dan menerima
kekalahannya dengan lapang dada tanpa mencari kambing hitam.
Tujuan utama
penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan adil kepada para
pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak
berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa integritas setiap proses
atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang tidak kompeten dan yang
ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas yang paling sederhana pun tidak
hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi juga akan menimbulkan persepsi
publik tentang kompetensi dan ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.
Penyelenggaraan
pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan pemilu harus
memperhatikan hal berikut:
1. Adanya
kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang
dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus
berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan
menyebabkan persepsi publik akan bias atau dugaan adanya intervensi akan
berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas lembaga yang berwenang, tetapi
juga pada keseluruhan proses pemilu.
2. Efisiensi.
Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kredibilitas
proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan contoh-contoh
ketidakmampuan, sulit bagi lembaga pemilu untuk mempertahankan kredibilitasnya.
Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses pemilu ketika terjadi masalah di
tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan
pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi efisiensi, misalnya staf yang
kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang terpenting adalah waktu yang
cukup untuk mengorganisir pemilu.
3. Profesionalisme.
Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana anggota
KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum
dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk
melaksanakan dan mengatur proses tersebut.
4. Kompeten,
tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada.
Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional
sehingga setiap anggota KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul
dalam memproses dan menengahi keluhan atas pelaksanaan pemilu, seperti dugaan
kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau dalam regulasi yang bersifat
memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat pada umumnya
berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti dengan cepat dan
efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada
banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang
berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan kekhawatiran
dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus memiliki
sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan
masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.
5. Transparansi.
Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial
tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPU, Panwaslu, Partai Politik,
pemerintah maupun masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari
struktur dan proses pemilu. Dalam hal ini, komunikasi dan kerjasama semua
stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam
masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan
bersama.
Apa pun, pelaksanaan Pilkada langsung di seluruh
Indonesia mesti berjalan sukses dalam arti demokratis, aman, dan damai. Dalam
hal ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektif
kemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian
inheren agenda reformasi politik, sebagaimana menjadi tuntutan mahasiswa saat
meruntuhkan rezim Orde Baru.
- Teori yang Digunakan dalam Menganalisis Penyebab Konflik Pilkada
1. Teori
Hubungan Masyarakat
Konflik pilkada disebabkan
oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
·
Meningkatkan komunikasi dan saling
pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
·
Mengusahakan toleransi dan agar
masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
2. Teori
Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa
konflik disebabkan oleh prinsip-prinsip yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
·
Membantu pihak-pihak yang mengalami
konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan
memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan
mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
·
Melancarkan proses pencapaian
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
3. Teori
Identitas
Konflik disebabkan
karena identitas terancam yang sering berakar pada hilangnya penderitaan dimasa
lalu yang tidak terselesaikan.
Sasaran yang ingin
dicapai adalah:
·
Melalui fasilitas untuk mempertemukan
pihak yang bertikai diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman
·
Meraih kesempatan bersama melalui
kebutuhan identitas pokok semua pihak
26 September 2014 pukul 15.33
kakak cantik, imut & pinter, selamat & semoga sukses
23 Oktober 2018 pukul 00.21
Terima kasih, materi Sosiologi yang disampaikan sangat lengkap... membantu sekali